Jumat, 15 Februari 2008

JURUZ PENANGKAL ZINA

Berdasarkan dalil2 kuat yang relevan, akhirnya Abu Syuqqah menyimpulkan, “adanya pertemuan antara laki-laki dan wanita mungkin menyebabkan timbulnya sikap saling memandang antara mereka. [Namun] kejadian seperti itu tidak menjadi masalah, sepanjang pandang-memandang di antara mereka tidak didasarkan pada syahwat serta keduanya sama-sama berniat dan melaksanakan menahan pandangan.” (KW2: 112)

1.Fokuskan pada Penampilan Non-Seksual

Kondisi yang membolehkan kita memandang lawan-jenis adalah ketika tidak terkagum-kagum pada pesona seksual dan tidak memandangi aurat. Selama berada dalam kondisi ini, kita tidak dituntut untuk memalingkan muka (seperti Fadhal) atau pun diperintahkan untuk tidak melanjutkan pandangan (seperti Ali). Bahkan, bisa saja kita justru diberi kesempatan luas untuk bisa memandang lawan jenis. Belum percaya? Liat aja hadits shahih berikut ini, yang mengisyaratkan bolehnya memandang lawan-jenis seraya mengagumi keahliannya atau sekurang-kurangnya menyaksikan penampilan non-seksualnya.

Dari ‘Aisyah r.a. dikatakan: Ketika itu adalah hari raya, dan pada waktu itu orang Habsyah sedang bermain tameng dan tombak. Entah aku yang meminta atau Nabi sendiri yang berkata kepadaku: ‘Apakah kamu ingin melihatnya?’ Aku jawab: ‘Ya.’ Maka aku disuruhnya berdiri di belakangnya [sehingga aku melihatnya]. (HR Bukhari) Tuuuh… Nabi memberi kesempatan luas kepada Aisyah nyaksiin keterampilan orang Habsyah bermain sejata. Ternyata, tidak seperti kemolekan, dayatarik non-seksual lawan-jenis boleh dilihat dengan cukup leluasa.

Sekarang, berdasarkan dalil di atas, bisa kita petik sebuah hikmah: Supaya tidak terkagum-kagum pada dayatarik seksualnya, fokuskan pengamatan kita pada penampilan non-seksualnya apabila kita memandang lawan-jenis. Penampilan non-seksual lawan-jenis yang dapat kita saksikan itu meliputi: kegesitan berolah-raga, kelogisan berargumentasi, kesopanan berbusana, keanggunan bersikap, keramah-tamahan berperilaku, keindahan berekspresi artistik, kelihaian berkomunikasi, … dan masih banyak lagi yang lainnya.

2.Berpaling Bila Terpana oleh Kemolekan

Walau sudah berusaha fokuskan perhatian pada dayatarik non-seksual, bisa saja kita tiba2 terpesona pada kemolekan si lawan-jenis. Kalau terjadi begini, atau setiap kali terpikat pada dayatarik seksualnya, kita diminta segera alihkan pandangan. Dalil yang melandasi seruan “alihkan pandangan” ini adalah sebagai berikut: Dari Jarir bin Abdullah r.a. dikatakan: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang memandang [lawan-jenis] yang [membangkitkan syahwat] tanpa disengaja. Lalu beliau memerintahkan aku mengalihkan pandanganku.” (HR Muslim)

Makanya, kalau kau lelaki nyaksiin penampilan Siti Nurhaliza (atau penyanyi cantik lainnya), fokuskan pengamatan pada kehebatannya dalam bernyanyi dan bersopan-santun di pementasannya. Bila terpana pada kecantikan atau pun dayatarik seksualnya lainnya, lekas2lah alihkan pandangan ke arah lain. Jika gejolak birahi sudah reda, boleh nonton kembali. Tapi, andai terpesona lagi pada dayatarik seksualnya, segeralah alihkan lagi pandangan ke arah lain… Selama tidak terpana pada ketampanan atau pun dayatarik seksualnya lainnya, perempuan juga boleh memandang wajah ustad Jefri Al-Buchori (atau mubalig pria lainnya) di majelis taklim. Fokuskan pengamatan pada kemampuannya dalam berdakwah. Setiap kali terpesona pada dayatarik seksualnya, cepat2lah alihkan pandangan ke arah lain…
Kau pun harus siap-sedia sering2 alihkan pandangan sewaktu bercakap-cakap ‘si dia’ seraya mengagumi pesona ‘kecantikan batiniah’ (inner beauty)-nya. Boleh2 aja sih kau menatap dia saat menyimak tutur-katanya, namun setiap kali terpikat pada dayatarik seksualnya, lekas2lah alihkan pandangan ke arah lain sampai gejolak birahimu reda. Malu ketahuan alihkan pandangan? Nevermind. Ingat, gejolak birahi itu manusiawi, sedangkan mengalihkan pandangan itu islami. Ngapain malu berperilaku islami?

3.Bagaimana Menjaga Pintu Perzinaan

Kau nggak malu berperilaku islami, kan? Bagus… Trus, seperti Aisyah dalam hadits Bukhari tadi, apakah kau ingin menyaksikan keahlian si lawan-jenis? Boleeeh… asalkan, sekali lagi kami ingatkan, alihkan pandangan setiap kali terpikat pada dayatarik seksualnya. Begitulah jurus “tundukkan pandangan” yang bisa kita maklumi sebagai upaya menjaga ‘pintu perzinaan’ dari terjadinya ‘zina mata’. Jika kita membiarkan terjadinya ‘zina mata’ sewaktu memandang lawan-jenis, maka mungkin kita tergolong mendekati zina.

Dari Ibnu Abbas r.a. dikatakan: Tidak ada yang kuperhitungkan lebih menjelaskan tentang dosa-dosa kecil daripada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah telah menentukan bagi anak Adam bagiannya dari zina yang pasti dia lakukan. Zinanya mata adalah melihat [dengan syahwat], zinanya lidah adalah mengucapkan [dengan syahwat], zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan [pemenuhan nafsu syahwat].

…” (HR Bukhari & Muslim) Rupanya, yang bisa kita anggap mendekati zina itu nggak cuman ‘zina mata’. ‘Zina lidah’ dan ‘zina hati’ pun dapat digolongkan mendekati zina.
Bahkan, di luar tiga macam ‘zina’ yang kami garisbawahi itu, masih ada ‘zina tangan’, ‘zina kaki’, dan ‘zina-zina bagian tubuh lainnya’ yang mungkin tergolong mendekati zina pula. Namun, penyebutan tiga saja —di antara itu semua— kami pandang sudah memadai untuk menggambarkan bagaimana menjaga ‘pintu perzinaan’. Kalau untuk menjaga ‘pintu perzinaan’ dari terjadinya ‘zina mata’, kita gunakan jurus “tundukkan pandangan”, apa jurus kita untuk mengatasi ‘zina lidah’ dan ‘zina hati’ (atau pun ‘zina-zina bagian tubuh lainnya’)? Kau bisa nebak, kan?
Yup. Untuk menjaga ‘pintu perzinaan’ dari terjadinya ‘zina lidah’, kita gunakan jurus “tundukkan tutur-kata”. Maksudnya, ketika lawan-jenis yang menyimak tutur-katamu terpesona pada ke-sexy-an suaramu, keraskan suaramu atau hentikan sajalah tutur-katamu. “Janganlah kau terlalu lembut bicara supaya [lawan-jenis] yang lemah hatinya tidak bangkit nafsu [syahwat]-nya.” (QS al-Ahzab [33]: 32) “Katakanlah yang baik-baik atau diam sajalah.” (al-hadits) Dalam pengamatan kami, banyak muda-mudi (terutama wanita) yang kurang menyadari ke-sexy-an suaranya di telinga lawan-jenis. Karena itu, kami sarankan, mintalah penilaian dari beberapa sahabat lain-jenis mengenai suaramu. Kalau nggak sedikit orang menilai suaramu sexy, ubahlah gaya bicaramu. Kalau sulit mengubah, berlatihlah secara serius sampai berhasil. Bagaimanapun, gaya bicara bisa diubah. (Kami saksikan, banyak aktris Hollywood mampu menampilkan aneka gaya bicara. Di satu film terdengar sexy banget, di film lain kurang sexy, sesuai karakter di film2 itu.)

Adapun untuk menjaga ‘pintu perzinaan’ dari terjadinya ‘zina hati’, kita gunakan jurus “tundukkan keinginan”. Maksudnya, ketika kau terpikat oleh dayatarik seksual lawan-jenis yang menarik perhatianmu, janganlah kau mengharap-harap kesenangan seksual dari dia. Selanjutnya, sebesar apa pun gairahmu, janganlah kau turuti keinginan nafsu syahwatmu ini. Kalau kau umbar nafsu ini, maka rusaklah kehormatan dirimu sendiri, sehingga kau “tergolong orang yang bodoh” (QS Yusuf [12]: 33). Ketika kau kewalahan meredam nafsu syahwat, segera “alihkan perhatian” ke hal-hal lain yang bersifat non-seksual. Seandainya sinetron remaja Indonesia atau film musikal India di televisi sering membuat birahimu bergejolak, alihkan saluran ke tayangan lain. Umpamanya: sepakbola, berita politik, dialog bisnis, eksplorasi flora dan fauna, dan sebagainya. (Lebih baik lagi, matikan televisi lalu baca buku2 islami atau lakukan kegiatan lain yang lebih bermanfaat.)

Dengan mengerahkan jurus2 penjagaan ‘pintu perzinaan’ sedemikian itu, insya’ Allah ‘pintu perzinaan’ kita selalu terjaga. Dengan kata lain, kita tidak mendekati zina. Dengan jurus2 tadi, ‘darah-muda’ kita senantiasa terkendali ketika kita saling bergaul dan bertatap-muka dengan lawan-jenis, secara akrab sekalipun. Apalagi bila terawasi oleh orang lain yang cenderung mencegah perzinaan kita. (Ingat makna ‘bila terawasi’, kan? Kalo lupa, silakan baca lagi Bab 4.)
Emang sih, jurus2 tersebut tidak menjamin kita bebas dari godaan setan. Tapi, setiap kali pasukan iblis hendak masuk untuk menguasai diri kita, mereka bisa kita tendang jauh2 dengan jurus2 tadi. Dengan demikian, menjauhlah bahaya kerusakan yang mengancam masuk melalui ‘pintu perzinaan’ yang bernama ‘perbauran’. Hasilnya, selamatlah kita di dunia dan akhirat. (Begitulah cara yang kami upayakan untuk memupus kekhawatiran Nabi terhadap perilaku kita dalam bertatap-muka dengan lawan-jenis.)

PACARAN ISLAMI


Ibnu Qayyim Al-Juziyah (atau Al-Jauziyyah) sungguh menakjubkan. Inilah yang kami rasakan ketika membaca buku terjemahan kitab beliau, Raudhatul Muhibbiin, yang berjudul Taman Orang-orang Jatuh Cinta, terj. Bahrun AI Zubaidi, Lc (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006).
Bagaimana tidak menakjubkan? Di buku setebal 930 halaman tersebut, orang yang jatuh cinta ditawari “rahmat dan syafaat” (hlm. 715 dst.). Selain itu, beliau mengarahkan pembaca untuk “menyeimbangkan dorongan hawa nafsu dan potensi akal” (hlm. 29 dst.). Hal-hal semacam ini jarang kami temui di buku-buku percintaan yang pernah kami baca.

Memang, sebagaimana ulama-ulama besar lainnya, beliau pun menekankan “cinta kepada Allah” dan “cinta karena Allah” (hlm. 550). Namun, beliau ternyata juga membicarakan fenomena “pacaran islami”, suatu topik sensitif yang sering dihindari banyak ulama. Beliau mengungkapkannya (bersama-sama dengan persoalan lain yang relevan) di sub-bab “Berbagai hadits, atsar, dan riwayat yang menceritakan keutamaan memelihara kesucian diri” dan “Cinta yang suci tetap menjadi kebanggaan” (hlm. 607-665).

Di situ, kami jumpai istilah “pacaran” muncul tujuh kali, yaitu di halaman 617, 621 (lima kali), dan 658. Adapun istilah-istilah lain yang menunjukkan keberadaan aktivitas tersebut adalah “bercinta” (hlm. 650), “gayung bersambut” (hlm. 613), “saling mengutarakan rasa cinta” (hlm. 620-621), “mengapeli” (hlm. 642-643), “berdekatan” (hlm. 617), dan sebagainya.
Sekurang-kurangnya, kami jumpai ada sembilan contoh praktek pacaran islami yang diceritakan oleh Ibnu Qayyim di situ. Dari contoh-contoh itu, dan dari keterangan beliau di buku tersebut, kami berusaha mengenali ciri khas “pacaran islami” ala Raudhatul Muhibbiin.
Ini dia tujuh diantaranya:

1.mengutamakan akhirat
2.mencintai karena Allah
3.membutuhkan pengawasan Allah dan orang lain
4.menyimak kata-kata yang makruf
5.tidak menyentuh sang pacar
6.menjaga pandangan
7.seperti berpuasa

1) MENGUTAMAKAN AKHIRAT

Pada dua contoh, pelaku “pacaran islami” ditawari kenikmatan duniawi (zina), tetapi menolaknya dengan alasan ayat QS Az-Zukhruf [43]: 67, “Teman-teman akrab pada hari [kiamat] itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (hlm. 616 dan 655) Maksudnya, mereka yang islam itu lebih memilih kenikmatan ukhrawi daripada kenikmatan duniawi (ketika dua macam kenikmatan ini bertentangan).
Adapun pada bab terakhir, Ibnu Qayyim (dengan berlandaskan QS Al-Insaan [76]: 12) menyatakan, “Barang siapa yang mempersempit dirinya [di dunia] dengan menentang kemauan hawa nafsu, niscaya Allah akan meluaskan kuburnya dan memberinya keleluasaan di hari kemudian.” (hlm. 918)

2) MENCINTAI KARENA ALLAH

Pada suatu contoh, diungkapkan syair: “Sesunggguhnya aku merasa malu kepada kekasihku bila melakukan hal yang mencurigakan; dan jika diajak untuk hal yang baik, aku pun berbuat yang baik.” (hlm. 656)
Syair tersebut menggambarkan bahwa percintaannya “menghantarkannya untuk dapat meraih ridha-Nya” (hlm. 550). Menghindari hal yang mencurigakan dan menerima ajakan berbuat baik itu diridhai Dia, bukan?
Lantas, apa hubungannya dengan “cinta karena Allah”? Perhatikan:
Yang dimaksud dengan cinta karena Allah ialah hal-hal yang termasuk ke dalam pengertian kesempurnaan cinta kepada-Nya dan berbagai tuntutannya, bukan keharusannya. Karena sesungguhnya cinta kepada Sang Kekasih menuntut yang bersangkutan untuk mencintai pula apa yang disukai oleh Kekasihnya dan juga mencintai segala sesuatu yang dapat membantunya untuk dapat mencintai-Nya serta menghantarkannya untuk dapat meraih ridha-Nya dan berdekatan dengan-Nya. (hlm. 550)

3) MEMBUTUHKAN PENGAWASAN ALLAH DAN ORANG LAIN

Pada suatu contoh, pelaku “pacaran islami” bersyair: “Aku punya Pengawas yang tidak boleh kukhianati; dan engkau pun punya Pengawas pula” (hlm. 628).
Pada satu contoh lainnya, Muhammad bin Sirin mengabarkan bahwa “dahulu mereka, saat melakukan pacaran, tidak pernah melakukan hal-hal yang mencurigakan. Seorang lelaki yang mencintai wanita suatu kaum, datang dengan terus-terang kepada mereka dan hanya berbicara dengan mereka tanpa ada suatu kemungkaran pun yang dilakukannya di kalangan mereka” (hlm. 621).

4) MENYIMAK KATA-KATA YANG MAKRUF

Pada suatu contoh, ‘Utsman Al-Hizami mengabarkan, “Keduanya saling bertanya dan wanita itu meminta kepada Nushaib untuk menceritakan pengalamannya dalam bentuk bait-bait syair, maka Nushaib mengabulkan permintaannya, lalu mendendangkan bait-bait syair untuknya.” (hlm. 620)
Pada enam contoh, para pelaku pacaran islami “saling mengutarakan rasa cintanya masing-masing melalui bait-bait syair yang indah dan menarik” (hlm. 620-621).
Pada suatu contoh, pelaku pacaran islami mengabarkan, “Demi Tuhan yang telah mencabut nyawanya, dia sama sekali tidak pernah mengucapkan kata-kata yang mesum hingga kematian memisahkan antara aku dan dia.” (hlm. 628)

5) TIDAK MENYENTUH SANG PACAR

Pada suatu contoh, pelaku pacaran islami menganggap jabat tangan “sebagai perbuatan yang tabu” (hlm. 628).
Pada dua contoh, pelaku pacaran islami tidak pernah menyentuhkan tangannya ke tubuh pacarnya. (hlm. 634)
Pada satu contoh lainnya, pelaku pacaran islami “berdekatan tetapi tanpa bersentuhan” (hlm. 621).
Sementara itu, Ibnu Qayyim mengecam gaya pacaran jahili di zaman beliau. Mengutip kata-kata Hisyam bin Hassan, “yang terjadi pada masa sekarang, mereka masih belum puas dalam berpacaran, kecuali dengan melakukan hubungan sebadan alias bersetubuh” (hlm. 621).

6) MENJAGA PANDANGAN

Di antara contoh-contoh itu, terdapat satu kasus (hlm. 617) yang menunjukkan bahwa si pelaku pacaran islami “dapat melihat” kekasihnya. Akan tetapi, Ibnu Qayyim telah mengatakan “bahwa pandangan yang dianjurkan oleh Allah SWT sebagai pandangan yang diberi pahala kepada pelakunya adalah pandangan yang sesuai dengan perintah-Nya, yaitu pandangan yang bertujuan untuk mengenal Tuhannya dan mencintai-Nya, bukan pandangan ala setan” (hlm. 241).

7) SEPERTI BERPUASA

Ibnu Qayyim menyimpulkan:
Demikianlah kisah-kisah yang menggambarkan kesucian mereka dalam bercinta. Motivasi yang mendorong mereka untuk memelihara kesuciannya paling utama ialah mengagungkan Yang Mahaperkasa, kemudian berhasrat untuk dapat menikahi bidadari nan cantik di negeri yang kekal (surga). Karena sesungguhnya barang siapa yang melampiaskan kesenangannya di negeri ini untuk hal-hal yang diharamkan, maka Allah tidak akan memberinya kenikmatan bidadari nan cantik di negeri sana…. (hlm. 650)

Oleh karena itu, hendaklah seorang hamba bersikap waspada dalam memilih salah satu di antara dua kenikmatan [seksual] itu bagi dirinya dan tiada jalan lain baginya kecuali harus merasa puas dengan salah satunya, karena sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan bagi orang yang menghabiskan semua kesenangan dan kenikmatan dirinya dalam kehidupan dunia ini, seperti orang yang berpuasa dan menahan diri darinya buat nanti pada hari berbukanya saat meninggalkan dunia ini manakala dia bersua dengan Allah SWT. (hlm. 650-651)

Begitulah tujuh ciri khas pacaran islami ala Raudhatul Muhibbiin dalam pandangan kami. Bagaimana dengan Anda? Tolonglah beritahu kami apa saja ciri khas pacaran islami ala Raudhatul Muhibbiin dalam pandangan Anda!

Rabu, 13 Februari 2008

DOSA BESAR YANG DURHAKA PADA ORANGTUA


Durhaka Kepada Dua Orang Tua, Dosa Besar

Kewajiban anak terhadap orang -tua, yaitu berbuat baik, taat dan menghormat. Ini sesuai dengan panggilan fitrah yang harus dipenuhi dengan sebaik-baiknya.
Dan yang lebih hebat lagi ialah hak ibu, sebab dialah yang paling berat menanggung penderitaan waktu mengandung, melahirkan, menyusui, dan mengasuh.

Firman Allah Ta'ala:
"Dan kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu-bapanya, ibunya telah mengandung dia dengan susah-payah dan melahirkannya dengan susah-payah pula; mengandung dan menyusuinya selama 30 bulan." (al-Ahqaf: 16)

Diriwayatkan:
"Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi dan bertanya: Siapakah manusia yang lebih berhak saya kawani dengan baik? Ia menjawab: Ibumu! Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Ia menjawab: Ibumu! Dia bertanya lagi: Kemudian siapa lagi? Ia menjawab: Ibumu! Dia bertanya lagi: Kemudian siapa lagi? Ia menjawab: Ayahmu!" (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Nabi anggap durhaka kepada dua orang tua itu sebagai dosa besar, sesudah syirik. Begitulah sebagaimana ungkapan al-Quran.

Oleh karena itu dalam hadisnya, Nabi Muhammad s.a.w. bersabda:
"Maukah kamu saya terangkan sebesar-besar dosa besar --tiga kali. Mereka menjawab: Mau, ya Rasulullah! Maka bersabdalah Nabi, yaitu: menyekutukan Allah, durhaka kepada dua orang tua --waktu itu dia berdiri sambil bersandar, kemudian duduk, dan berkata: Ingatlah! Omongan dusta dan saksi dusta." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

"Ada tiga orang yang tidak akan masuk sorga:

1) orang yang durhaka kepada dua orang tua;
2) laki-laki yang tidak ada perasaan cemburu terhadap keluarganya;
3) perempuan yang menyerupai laki-laki." (Riwayat Nasa'i, Bazzar dan Hakim)


"Semua dosa akan ditangguhkan Allah sampai nanti hari kiamat apa saja yang Dia kehendaki, kecuali durhaka kepada dua orang tua, maka sesungguhnya Allah akan menyegerakan kepada pelakunya dalam hidupnya (di dunia) sebelum meninggal." (Riwayat Hakim dan ia sahkan sanadnya)

Allah memperkuat pesannya untuk berbuat baik kepada dua orang tua ini, ketika kedua orang tua tersebut telah mencapai umur lanjut, kekuatannya sudah mulai menurun, mereka sudah mulai sangat membutuhkan pertolongan dan dijaganya perasaannya yang mudah tersinggung itu.
Dalam hal ini Allah berfirman sebagai berikut:
"Tuhanmu telah memerintahkan hendaklah kamu tidak berbakti kecuali kepadaNya dan berbuat baik kepada dua orang tua, jika salah satu di antara mereka atau keduanya sudah sampai umur tua dan berada dalam pemeliharaanmu, maka janganlah kamu katakan kepada mereka itu kata-kata 'uff' (kalimat yang tidak menyenangkan hati), dan jangan kamu bentak mereka, tetapi katakanlah kepada mereka berdua kata-kata yang mulia. Dan rendahkanlah terhadap mereka berdua sayap kerendahan karena kasih, dan doakanlah kepada Tuhanmu: Ya Tuhanku! Berilah rahmat mereka itu, sebagaimana mereka telah memeliharaku di waktu aku masih kecil." (al-Isra': 23-24)

Beberapa atsar (omongan para sahabat) menyebutkan dalam mengiringi ayat-ayat ini dengan mengatakan: andaikata ada kalimat yang oleh Allah dipandang lebih rendah daripada uff, niscaya Ia haramkan juga.




Membuat Gara-Gara yang Menyebabkan Dicacinya Dua Orang Tua, Termasuk Dosa Besar




Lebih dari itu, bahwa Rasululiah s.a.w. tidak menjadikan gara-gara dicacinya dua orang tua hanya sekedar haram, tetapi termasuk dosa besar.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya di antara sebesar-besar dosa besar, ialah seseorang melaknat orang tuanya sendiri --kemudian para sahabat merasa heran, bagaimana mungkin seorang yang berakal dan beriman akan melaknat orang tuanya, padahal mereka adalah penyebab hidupnya. Kemudian mereka itu bertanya: bagaimana bisa jadi seseorang akan melaknat dua orang tuanya? Maka jawab Nabi: yaitu dia mencaci ayah orang lain kemudian orang tersebut mencaci ayahnya, dan ia mencaci ibu orang lain, kemudian orang tersebut mencaci ibunya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Kalau ini tidak boleh, apalagi mencaci kedua orang tua di hadapannya sendiri.



Pergi ke Medan Jihad Tanpa Izin Orang Tua, Tidak Boleh




Demi perhatian Islam terhadap kerelaan dua orang tua, maka Islam tidak membenarkan seorang anak pergi ke medan jihad tanpa mendapat izin dua orang tua, padahal fisabilillah mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam yang tidak dapat dibandingkan dengan sekedar sembahyang malam dan puasa di siang hari.
Abdullah bin 'Amr bin 'Ash meriwayatkan:
"Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi minta izin pergi berperang, kemudian Nabi bertanya: Apakah kedua orang tuamu masih hidup? Ia menjawab: Masih. Maka sabda Nabi: Berjuanglah untuk kedua orang tuamu itu." (Riwayat Bukhari dan Muslim) - Yakni jadikanlah medan jihadmu itu dengan jalan berbuat baik dan melindungi kedua orang tuamu.

Dalam satu riwayat dikatakan:
"Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi s.a.w., kemudian berkata: aku telah berbai'at kepadamu untuk pergi hijrah dan berperang demi mencari pahala dari Allah. Lantas Nabi bertanya: Apakah salah satu dari kedua orang tuamu itu masih hidup? Ia menjawab: Betul, bahkan kedua-duanya masih hidup. Kemudian Nabi bertanya lagi: Apa betul kamu mencari pahala Allah? Ia menjawab: Betul! Maka jawab Nabi: Pulanglah, temui kedua orang tuamu itu, kemudian berbuat baiklah dalam bergaul dengan keduanya." (Riwayat Muslim)

Dan diriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr bin 'Ash juga, ia berkata:
"Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi, kemudian berkata: saya datang berbai'at kepadamu untuk berhijrah, tetapi saya tinggalkan kedua orang tuaku dengan menangis Maka jawab Nabi: Pulanglah dan perbuatlah kedua orang tuamu itu ketawa, sebagaimana kamu perbuat mereka menangis." (Riwayat Bukhari dan lain-lain)

Abu Said meriwayatkan:
"Ada seorang laki-laki dari Yaman pergi ke tempat Nabi s.a.w. Lantas Nabi bertanya: Apakah kamu masih mempunyai salah seorang keluarga di Yaman? Ia menjawab: Ya, dua orang tua saya. Nabi bertanya lagi: Apakah keduanya itu telah memberi izin kepadamu? Ia menjawab: Tidak! Kemudian Nabi bersabda: Pulanglah, dan minta izinlah kepada keduanya, kalau mereka itu memberi izin maka pergilah berperang, dan jika tidak, maka berbuat baiklah kepada keduanya." (Riwayat Abu Daud)

Dua Orang Tua yang Musyrik



Seindah-indah ajaran yang dibawa oleh Islam dalam hal bergaul dengan dua orang tua, di antaranya ialah Islam melarang berdurhaka kepada dua orang tua, sekalipun mereka itu musyrik, bahkan kendati mereka itu sungguh-sungguh dalam kemusyrikannya. Mereka mengajak kepada anaknya untuk berbuat syirik dengan seluruh usaha dan perjuangan supaya anaknya pindah agama.
Dalam hal ini Allah telah berfirman sebagai berikut:
"Hendaklah kamu bersyukur kepadaku dan kepada dua orang tuamu; kepadakulah tempat kembali. Dan jika mereka itu bersungguh-sungguh mempengaruhimu supaya kamu menyekutukan Aku dengan sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu turut mereka itu, tetapi berkawanlah dengan mereka di dunia ini dengan cara yang baik; dan ikutilah jalan orang yang taubat kepadaku; kemudian kepadakulah tempat kembalimu, maka akan kujelaskan kepadamu apa-apa yang telah kamu kerjakan." (Luqman: 14-15)

Setiap muslim diperintah dalam kedua ayat ini agar tidak mau menuruti kedua orang tua terhadap apa yang mereka usahakan dan mereka perintahkannya --dalam hal kedurhakaan-- sebab sedikitpun kita tidak boleh menurut manusia dalam hal durhaka kepada Allah (laa tha'ata limakhluqin fima'shiyatil khaliq). Adakah maksiat yang lebih besar selain syirik? Namun si anak tetap diperintah supaya bergaul dengan orang tuanya itu dengan sebaik-baiknya, dengan syarat tidak akan mempengaruhi kejernihan imannya. Bahkan si anak dianjurkan supaya mengikuti orang-orang mu'min yang baik-baik yang mau taubat kepada Allah.
Si anak harus menyerahkan keputusannya itu kepada Allah yang maha teguh hukumnya kelak di hari di mana seorang ayah tidak akan dihukum lantaran perbuatan anaknya, begitu juga si anak tidak akan dihukum lantaran perbuatan ayahnya.
Inilah puncak toleransi yang tidak dapat dicapai oleh agama apapun, selain Islam.

NYANGKOK SPERMA.......???


Pencangkokan Sperma (Bayi Tabung)


Kalau Islam telah melindungi keturunan, yaitu dengan mengharamkan zina dan pengangkatan anak, sehingga dengan demikian situasi keluarga selalu bersih dari anasir-anasir asing, maka untuk itu Islam juga mengharamkan apa yang disebut pencangkoan sperma (bayi tabung), apabila ternyata pencangkoan itu bukan sperma suami. Bahkan situasi demikian, seperti kata Syekh Syaltut, suatu perbuatan zina dalam satu waktu, sebab intinya adalah satu dan hasilnya satu juga, yaitu meletakkan air laki-laki lain dengan suatu kesengajaan pada ladang yang tidak ada ikatan perkawinan secara syara' yang dilindungi hukum naluri dan syariat agama. Andaikata tidak ada pembatasan-pembatasan dalam masalah bentuk pelanggaran hukum, niscaya pencangkoan ini dapat dihukumi berzina yang oleh syariat Allah telah diberinya pembatasan; dan kitab-kitab agama akan menurunkan ayat tentang itu.


Apabila pencangkoan yang dilakukan itu bukan air suami, maka tidak diragukan lagi adalah suatu kejahatan yang sangat buruk sekali, dan suatu perbuatan mungkar yang lebih hebat daripada pengangkatan anak. Sebab anak cangkokan dapat menghimpun antara pengangkatan anak, yaitu memasukkan unsur asing ke dalam nasab, dan antara perbuatan jahat yang lain berupa perbuatan zina dalam satu waktu yang justru ditentang oleh syara' dan undang-undang, dan ditentang pula oleh kemanusiaan yang tinggi, dan akan meluncur ke derajat binatang yang tidak berperikemanusiaan dengan adanya ikatan kemasyarakatan yang mulia.



Menisbatkan Anak Kepada Selain Ayahnya Sendiri Menyebabkan Laknat



Sebagaimana Islam telah mengharamkan seseorang ayah mengingkari anaknya tanpa suatu alasan yang dapat dibenarkan, maka begitu juga Islam tidak membenarkan seorang anak menyandarkan nasabnya kepada orang lain; dan dipanggil bukan dengan panggilan ayahnya sendiri. Nabi menilai perbuatan tersebut sebagai kemungkaran yang menyebabkan laknat dari Allah dan manusia.


Hal ini telah diriwayatkan dari atas mimbar oleh Ali r.a. dari suatu lembaran yang ada padanya, dari Rasulullah s.a.w., ia bersabda:
"Barangsiapa mengaku ayah bukan ayahnya sendiri atau membangsakan dirinya kepada keluarga lain, maka dia akan mendapat laknat Allah, Malaikat dan manusia semuanya,Allah tidak akan menerima daripadanya nanti di hari kiamat, taubat maupun tebusan." (Riwayat Bukhari dan Muslim)


Dan dari Saad bin Abu Waqqash dari Rasulullah s.a.w., ia bersabda:
"Barangsiapa mengaku ayah bukan ayahnya sendiri, sedang dia tahu bahwa dia itu bukan ayahnya, maka sorga tidak mau menerima dia." (Riwayat Bukhari dan Muslim)



Jangan Membunuh Anak


Sesudah Islam melindungi masalah nasab dengan cara demikian, kemudian Islam juga menetapkan untuk anak dan orang tua, masing-masing mempunyai hak, sesuai dengan kedudukannya sebagai orang tua dan anak. Di samping itu Islam juga mengharamkan beberapa hal kepada mereka masing-masing, demi melindungi dan menjaga hak-hak tersebut.
Anak mempunyai hak hidup. Ayah dan ibu tidak boleh merenggut hidupnya si anak, baik dengan membunuh ataupun dengan menanam hidup-hidup, sebagaimana yang biasa dilakukan orang-orang Arab di zaman jahiliah. Ketentuan ini berlaku untuk anak laki-laki maupun wanita.


Firman Allah:
"Jangan kamu membunuh anak-anakmu lantaran takut kelaparan, Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka maupun kepadamu; sesungguhnya membunuh mereka suatu dosa besar." (al-Isra': 31)


"Dan apabila diperiksa anak perempuan yang ditanam hidup-hidup. Sebab dosa apakah dia dibunuh?" (at-Takwir: 8-9)

Karena dorongan untuk berbuat yang mungkar ini ada kalanya soal ekonomi, misainya karena takut kelaparan dan kemiskinan, atau alasan non-ekonomis, misalnya kaiena takut tercela kalau si anak itu kebetulan perempuan, maka Islam mengharamkan perbuatan biadab ini dengan sangat keras sekali. Sebab perbuatan seperti itu dapat memutuskan kekeluargaan dan menyebabkan permusuhan.



Untuk masalah ini Rasulullah s.a.w. pernah ditanya: dosa apakah yang teramat besar? Jawab Nabi: yaitu engkau menyekutukan Allah padahal Dialah yang menjadikan kamu. Kemudian apa lagi? Maka jawabnya: yaitu engkau bunuh anakmu lantaran kamu takut dia makan bersamamu. (Riwayat Bukhari dan Muslim).


Rasulullah s.a.w. pernah juga membai'at orang-orang perempuan sebagaimana halnya ia membai'at orang laki-laki; yaitu dengan melarangnya perbuatan jahat tersebut dan supaya dihentikan.

Bai'at tersebut berbunyi demikian:
"Hendaknya mereka (perempuan) tidak menyekutukan Allah sedikitpun dan tidak mencuri dan tidak berzina dan tidak membunuh anak-anak mereka." (al-Mumtahinah: 12)


Dan di antara hak anak yang harus ditunaikan oleh ayahnya, ialah memberikan nama yang baik. Seorang ayah tidak boleh memberi nama anaknya dengan nama yang dapat mengganggu perasaan anak apabila dia sudah cukup dewasa. Dan diharamkan memberi nama anaknya dengan Hamba Lain Allah misalnya: Abdun Nabi, (hamba Nabi), Abdul Masih (hamba Isa al-Masih) dan sebagainya.


Di samping itu anak juga mempunyai hak perlindungan, pendidikan dan nafkah yang samasekali tidak boleh diabaikan.
Sabda Nabi:
"Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, dan tiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang yang dipimpinnya itu." (Riwayat Bukhari dan Muslim)


"Cukup berdosa seseorang yang mengabaikan orang yang menjadi tanggungannya." (Riwayat Abu Daud, Nasa'i dan Hakim)


"Sesungguhnya Allah akan minta pertanggungjawaban kepada setiap pemimpin terhadap yang dipimpinnya, apakah dia itu memperhatikan, ataukah mengabaikan, sampai pun Ia akan minta pertanggungjawaban kepada seorang laki-laki tentang keluarga rumahnya." (Riwayat Ibnu Hibban)



Persamaan dalam Pemberian Kepada Anak-anak



Seorang ayah harus menyamakan antara anak-anaknya dalam pemberian, sehingga dengan demikian mereka akan berbuat baik kepada ayah dengan lama.


Di samping itu seorang ayah dilarang mengistimewakan pemberiannya kepada salah seorang di antara mereka tanpa ada suatu kepentingan yang sangat, sebab yang demikian itu akan menjengkelkan hati yang lain dan akan mengobarkan api permusuhan dan kebencian sesama mereka.
Ibu dalam hal ini sama dengan ayah.


Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
"Berlaku adillah kamu terhadap anak-anakmu." 3 kali. (Riwayat Ahmad, Nasa'i dan Abu Daud)
Kisah timbulnya hadis ini adalah sebagai berikut: Isteri Basyir bin Saad al-Ansari meminta kepada suaminya supaya memberikan harta dengan istimewa kepada anaknya yang bernama Nu'man --berupa kebun dan hamba-- dan ia bermaksud akan mengkukuhkan hibah ini dan ia minta kepada Basyir supaya disaksikan oleh Nabi s.a.w.


Kemudian pergilah Basyir kepada Nabi dan berkata:
"Ya Rasulullah! Anak perempuan si fulan (isteriku) minta kepadaku supaya aku memberikan hambaku kepada anaknya. Kemudian Nabi bertanya: Apakah dia mempunyai saudara? Ia menjawab: Ya. Nabi bertanya lagi: Apakah semuanya kamu beri seperti apa yang kamu berikan kepadanya? Ia menjawab: Tidak! Kemudian Nabi bersabda: Yang demikian ini tidak baik, dan saya sendiri tidak akan mau menjadi saksi kecuali pada hal yang baik." (Riwayat Muslim, Ahmad dan Abu Daud)

Dalam satu riwayat dikatakan oleh Nabi:
"Jangan kamu jadikan aku untuk menyaksikan sesuatu dosa. Sesungguhnya anakmu mempunyai hak yang harus kamu tunaikan, yaitu hendaknya kamu berlaku adil di antara mereka; sebagaimana kamu mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh anak-anakmu, yaitu hendaknya mereka itu berbuat baik kepadamu." (Riwayat Abu Daud)

Dan dikatakan pula oleh Nabi:
"Takutlah kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu." (Riwayat Bukhari dan Muslim)


Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa melebihkan itu diperbolehkan jika ada sebab, misalnya si anak sangat membutuhkan karena suatu kesengsaraan dan sebagainya yang tidak diderita oleh saudara-saudaranya yang lain.



Menegakkan Hukum Waris dalam Batas Ketentuan Allah



Termasuk ketentuan seperti tersebut di atas, ialah dalam hal warisan. Seorang ayah tidak dibenarkan menghalangi warisan untuk sebagian anaknya. Dia tidak dibenarkan menghalangi waris untuk anak-anaknya yang perempuan atau menghalang waris untuk anak-isterinya yang tidak berada di sampingnya.


Begitu juga seorang kerabat tidak boleh menghalangi kerabatnya yang berhak mendapat waris, dengan suatu policy (siasat) yang dibuat-buat. Sebab masalah warisan adalah suatu undang-undang yang telah ditetapkan Allah dengan segala pengetahuannya, keadilannya dan kebijaksanaannya. Ia akan memberikan haknya masing-masing dan Ia perintahkan kepada segenap manusia untuk melaksanakannya menurut garis-garis yang telah ditentukan. Oleh karena itu barangsiapa menyalahi aturan ini, baik dalam pembagiannya maupun batas-Batas ketentuannya, sama dengan menuduh jahat kepada Allah.


Persoalan waris ini telah disebutkan Allah dalam tiga ayat; yang pada penutup ayat pertama Allah berfirman sebagai berikut:
"Ayah-ayah kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka itu yang lebih dekat manfaatnya buat kamu. (Yang demikian itu) adalah satu ketentuan dari Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana." (an-Nisa': 11)



Dan pada akhir ayat kedua Ia berfirman:
"(Yang demikian itu) tidak akan menyusahkan (ahli waris). Sebab sudah menjadi satu ketentuan dari Allah, sedang Allah Maha Mengetahui dan Maha Sabar. Demikian itu adalah ketentuan-ketentuan Allah. Oleh karena itu barangsiapa taat kepada Allah dan rasulNya, maka Ia akan memasukkannya ke dalam sorga-sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka akan kekal abadi di dalamnya; dan yang demikian itu adalah kebagiaan yang sangat besar. Dan barangsiapa durhaka kepada Allah dan RasulNya serta melanggar ketentuan-ketentuan Allah, maka Ia akan memasukkannya ke dalam neraka yang kekal abadi di dalamnya, dan dia akan mendapat siksaan yang sangat hina, " (an-Nisa': 12-14)



Dan di akhir ayat ketiga Ia berfirman:
"Allah menjelaskan kepadamu supaya kamu tidak sesat; dan Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu." (an-Nisa': 176)


Justru itu, barangsiapa yang menyalahi hukum Allah dalam masalah warisan ini, berarti dia telah sesat dari jalan yang benar yang telah dijelaskan oleh Allah sendiri, dan berarti pula dia melanggar ketentuan-ketentuan Allah, Oleh karenanya tunggulah hukuman Allah, yaitu: Neraka yang dia akan kekal di dalamnya, dan dia akan beroleh siksaan yang sangat hina.

ORANG TUA dan ANAK


Islam Memelihara Nasab

Anak adalah rahasia orang tua dan pemegang keistimewaannya. Waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang, dan sewaktu ia pulang ke rahmatullah, anak sebagai pelanjut dan lambang keabadian.
Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan orang tua, termasuk juga ciri-ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah. Dia adalah belahan jantungnya dan potongan dari hatinya.

Justru itu Allah mengharamkan zina dan mewajibkan kawin, demi melindungi nasab, sehingga air tidak tercampur, anak bisa dikenal siapa ayahnya dan ayah pun dapat dikenal siapa anaknya.
Dengan perkawinan, seorang isteri menjadi hak milik khusus suami dan dia dilarang berkhianat kepada suami, atau menyiram tanamannya dengan air orang lain. Oleh karena itu setiap anak yang dilahirkan dari tempat tidur suami, mutlak menjadi anak suami itu, tanpa memerlukan pengakuan atau pengumuman dari seorang ayah; atau pengakuan dari seorang ibu, sebab setiap anak adalah milik yang seranjang. Begitulah menurut apa yang dikatakan oleh Rasulullah s.a.w.

Ayah Tidak Boleh Mengingkari Nasab Anaknya

Dari sini seorang suami tidak boleh mengingkari anak yang dilahirkan oleh isterinya yang seranjang dengan dia dalam perkawinan yang sah. Pengingkaran seorang suami terhadap nasab anaknya akan membawa bahaya yang besar dan suatu aib yang sangat jelek, baik terhadap isteri maupun terhadap anaknya itu sendiri. Justru itu seorang suami tidak boleh mengingkari anaknya karena suatu keraguan, atau dugaan atau karena ada berita tidak baik yang mendatang.

Adapun apabila seorang isteri mengkhianati suami dengan beberapa bukti yang dapat dikumpulkan dan beberapa tanda (qarinah) yang tidak dapat ditolak, maka syariat Islam tidak membiarkan seorang ayah harus memelihara seorang anak yang menurut keyakinannya bukan anaknya sendiri; dan memberikan waris kepada anak yang menurut keyakinannya tidak berhak menerimanya; atau paling tidak anak yang selalu diragukan identitasnya sepanjang hidup.
Untuk memecahkan problem ini, Islam membuat jalan ke luar, yang dalam ilmu fiqih dikenal dengan nama li'an. Maka barangsiapa yakin atau menuduh, bahwa isterinya telah membasahi ranjangnya dengan air orang lain kemudian si isteri itu melahirkan seorang anak padahal tidak ada bukti yang tegas, maka waktu itu suami boleh mengajukan ke pengadilan, kemudian pengadilan mengadakan mula'anah (sumpah dengan melaknat) antara kedua belah pihak, yang penjelasannya sebagaimana diterangkan dalam al-Quran:
"Para suami yang menuduh isterinya padahal mereka tidak mempunyai saksi melainkan dirinya sendiri, maka kesaksian tiap orang dari mereka ialah empat kali kesaksian dengan nama Allah, bahwa ia termasuk orang-orang yang benar. Sedang yang kelimanya ialah, bahwa laknat Allah akan menimpa kepadanya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Dan dihilangkan dari perempuan itu siksaan (dera) lantaran dia bersaksi empat kali kesaksian dengan nama Allah, bahwa dia (laki-laki) termasuk orang-orang yang berdusta. Sedang yang kelimanya: bahwa murka Allah akan menimpa kepadanya (perempuan) jika dia (laki-laki) itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nur: 6-9)
Sesudah itu keduanya diceraikan untuk selama-lamanya, dan anaknya ikut kepada ibunya.

Mengambil Anak Angkat Hukumnya Haram dalam Islam

Kalau seorang ayah sudah tidak dibolehkan memungkiri nasab anak yang dilahirkan di tempat tidurnya, maka begitu juga dia tidak dibenarkan mengambil anak yang bukan berasal dari keturunannya sendiri.
Orang-orang Arab di masa jahiliah dan begitu juga bangsa-bangsa lainnya, banyak yang menisbatkan orang lain dengan nasabnya dengan sesukanya, dengan jalan mengambil anak angkat.

Seorang laki-laki boleh memilih anak-anak kecil untuk dijadikan anak, kemudian diproklamirkan. Maka si anak tersebut menjadi satu dengan anak-anaknya sendiri dan satu keluarga, sama-sama senang dan sama-sama susah dan mempunyai hak yang sama.
Mengangkat seorang anak seperti ini sedikitpun tidak dilarang, kendati si anak yang diangkat itu jelas jelas mempunyai ayah dan nasabnya pun sudah dikenal.

Islam datang, sedang masalah pengangkatan anak ini tersebar luas di masyarakat Arab, sehingga Nabi Muhammad sendiri mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Haritsah sejak zaman jahiliah. Zaid waktu itu seorang anak muda yang ditawan sejak kecil dalam salah satu penyerbuan jahiliah, yang kemudian dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk diberikan bibinya yang bernama Khadijah, dan selanjutnya diberikan oleh Khadijah kepada Nabi Muhammad s.a.w. sesudah beliau kawin dengan dia.

Setelah ayah dan pamannya mengetahui tempatnya, kemudian mereka minta kepada Nabi, tetapi oleh Nabi disuruh memilih. Namun Zaid lebih senang memilih Nabi sebagai ayah daripada ayah dan pamannya sendiri. Lantas oleh Nabi dimerdekakan dan diangkatnya sebagai anaknya sendiri dan disaksikan oleh orang banyak.
Sejak itu Zaid dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad, dan dia termasuk pertama kali bekas hamba yang memeluk Islam.

Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Peraturan Jahiliah Ini?

Islam berpendapat secara positif, bahwa pengangkatan anak adalah suatu pemalsuan terhadap realita, suatu pemalsuan yang menjadikan seseorang terasing dari lingkungan keluarganya. Dia dapat bergaul bebas dengan perempuan keluarga baru itu dengan dalih sebagai mahram padahal hakikatnya mereka itu samasekali orang asing. Isteri dari ayah yang memungut bukan ibunya sendiri, begitu juga anak perempuannya, saudara perempuannya atau bibinya. Dia sendiri sebenarnya orang asing dari semuanya itu.

Anak angkat ini dapat menerima waris dan menghalangi keluarga dekat asli yang mestinya berhak menerima. Oleh karena itu tidak sedikit keluarga yang sebenarnya merasa dengki terhadap orang baru yang bukan dari kalangan mereka ini yang merampas hak milik mereka dan menghalang pusaka yang telah menjadi harapannya.
Kedengkian ini banyak sekali membangkitkan hal-hal yang tidak baik, dapat menyalakan api fitnah dan memutus famili dan kekeluargaan.
Justru itu al-Quran menghapus aturan jahiliah ini dan diharamkan untuk selama-lamanya serta dihapusnya seluruh pengaruh-pengaruhnya.

Firman Allah:
"Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu, sedang Allah berkata dengan benar dan Dialah yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Panggillah mereka (anak-anak) itu dengan bapa-bapa mereka, sebab dia itu lebih lurus di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapa-bapa mereka, maka mereka itu adalah saudaramu seagama dan kawan-kawanmu." (al-Ahzab: 4-5)

Baiklah kita renungkan ungkapan al-Quran yang bersih ini, yaitu kalimat: "Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu."

Kalimat ini memberi pengertian, bahwa pengakuan anak angkat itu hanya omongan kosong, di belakangnya tidak ada realita sedikitpun.
Perkataan lidah tidak dapat mengganti kenyataan dan tidak dapat mengubah realita, tidak dapat menjadikan orang luar sebagai kerabat, dan orang asing sebagai pokok nasab, dan tidak pula anak angkat sebagai anak betul-betul.
Perkataan mulut tidak dapat mengalirkan darah ke dalam urat dan tidak dapat membentuk perasaan kebapaan ke dalam hati seseorang, dan tidak pula mengalir dalam kalbu anak angkat jiwa kehalusan sebagai anak betul; dia tidak dapat mewarisi keistimewaan-keistimewaan khusus dari ayah angkatnya dan ciri-ciri keluarga, baik jasmaniah, intelek maupun kejiwaannya.
Islam telah menghapuskan seluruh pengaruh yang ditimbulkan oleh aturan ini, misalnya tentang warisan dan dilarangnya kawin dengan bekas isteri anak angkat.
Dalam masalah warisan, karena tidak ada hubungan darah, perkawinan dan kerabat yang sebenarnya, maka oleh al-Quran hal itu samasekali tidak bernilai dan tidak menjadi penyebab mendapat warisan. Bahkan al-Quran mengatakan:
"Keluarga sebagian mereka lebih berhak terhadap sebagian, menurut kitabullah." (al-Anfal: 75)

Dan dalam hal perkawinan, al-Quran telah mengumandangkan, bahwa di antara perempuan-perempuan yang haram dikawin ialah bekas isteri anak betul-betul, bukan bekas isteri anak angkat.

Firman Allah:
"Dan bekas isteri-isteri anakmu yang berasal dari tulang rusukmu sendiri." (an-Nisa': 24)
Oleh karena itu seseorang dibenarkan kawin dengan bekas isteri anak angkatnya, karena perempuan tersebut pada hakikatnya adalah bekas isteri orang lain. Justru itu tidak salah kalau dia mengawininya apabila telah dicerai oleh suaminya.

Lembaga Anak Angkat Dihapus dengan praktek, Setelah Dihapusnya dengan Perkataan

Persoalan ini tidak begitu mudah, sebab masalah anak angkat sudah menjadi aturan masyarakat dan berakar dalam kehidupan bangsa Arab. Oleh karena itu dalam kebijaksanaan Allah untuk menghapus dan memusnahkan pengaruh-pengaruh perlembagaan ini tidak cukup dengan omongan saja, bahkan dihapusnya dengan omongan dan sekaligus dengan praktek.
Hikmah kebijaksanaan Allah dalam persoalan ini telah memilih Rasulullah s.a.w. sebagai pelakunya, untuk menghilangkan setiap keragu-raguan dan demi menolak setiap keberatan orang mu'min tentang dibolehkannya mengawini bekas isteri anak-anak angkatnya; dan supaya mereka yakin, bahwa apa yang disebut halal, yaitu semua yang dihalalkan Allah; dan apa yang disebut haram, yaitu semua yang diharamkan Allah.
Zaid bin Haritsah yang kita kenal sebagai Zaid bin Muhammad, telah dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy sepupu Nabi sendiri. Tetapi karena kehidupan mereka berdua selalu goncang dan Zaid sendiri sudah banyak mengadu kepada Nabi tentang keadaan isterinya, sedang Nabi sendiri juga mengetahui keinginan Zaid untuk mencerainya, dan dengan wahyu Allah, Zainab akan dikawin oleh Nabi, tetapi kelemahan manusia tempoh-tempoh sangat mempengaruhi, maka Nabi takut bertemu dengn orang banyak. Oleh karena itu dia katakan kepada Zaid: "Tahanlah isterimu itu dan takutlah kepada Allah!"
Di sinilah ayat al-Quran kemudian turun untuk menegur sikap Nabi. Dan seketika itu beliau menyingsingkan lengan bajunya untuk tampil ke tengah-tengah masyarakat, guna menghapus sisa-sisa aturan kuno dan tradisi yang sudah usang yang mengharamkan seseorang mengawini bekas isteri anak angkatnya yang pada hakikatnya dia adalah orang asing itu. Maka berfirmanlah Allah:
"Dan (ingatlah) ketika engkau berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga telah memberi kenikmatan kepadanya (Zaid bin Haritsah): 'tahanlah untukmu isterimu dan takutlah kepada Allah', dan engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah tampakkan, dan engkau takut manusia, padahal Allahlah yang lebih berhak engkau takutinya. Maka tatkala Zaid memutuskan untuk mencerai Zainab, kami (Allah) kawinkan engkau dengan dia, supaya tidak menjadi beban bagi orang-orang mu'min tentang bolehnya mengawini bekas isteri anak-anak angkatnya apabila mereka itu telah memutuskan mencerainya, dan keputusan Allah pasti terlaksana." (al-Ahzab: 37)
Kemudian al-Quran meneruskan untuk melindungi pribadi Nabi Muhammad s.a.w. dalam perbuatan ini dan memperkuat perkenannya serta menghilangkan anggapan dosa karena perbuatannya itu. Maka berkatalah al-Quran:
"Tidak boleh ada keberatan atas diri Nabi dalam hal yang telah diwajibkan oleh Allah kepadanya menurut sunnatullah pada orang-orang yang telah lalu sebelumnya, sebab perintah Allah itu suatu ketentuan yang telah ditentukan, (yaitu) orang-orang yang menyampaikan suruhan Allah dan mereka takut kepadaNya, dan tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah; dan kiranya cukuplah Allah sebagai pengira. Tidaklah Muhammad itu ayah bagi seseorang dari laki-laki kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup bagi sekalian Nabi, dan Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu." (al-Ahzab: 38-40)

Mengangkat Anak dengan Arti Mendidik dan Memelihara

Begitulah pengangkatan anak yang dihapus oleh Islam; yaitu seorang menisbatkan anak kepada dirinya padahal dia tahu, bahwa dia itu anak orang lain. Anak tersebut dinisbatkan kepada dirinya dan keluarganya, dan baginya berlaku seluruh hukum misalnya: bebas bergaul, menjadi mahram, haram dikawin dan berhak mendapat waris.

Di sini ada semacam pengangkatan anak yang diakui oleh beberapa orang, tetapi pada hakikatnya bukan pengangkatan anak yang diharamkan oleh Islam. Yaitu seorang ayah memungut seorang anak kecil yatim atau mendapat di jalan, kemudian dijadikan sebagai anaknya sendiri baik tentang kasihnya, pemeliharaannya maupun pendidikannya; diasuh dia, diberinya makan, diberinya pakaian, diajar dan diajak bergaul seperti anaknya sendiri. Tetapi bedanya, dia tidak menasabkan pada dirinya dan tidak diperlakukan padanya hukum-hukum anak seperti tersebut di atas.

Ini suatu cara yang terpuji dalam pandangan agama Allah, siapa yang mengerjakannya akan beroleh pahala kelak di sorga. Seperti yang dikatakan sendiri oleh Rasululfah s.a.w. dalam hadisnya:
"Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya. (Riwayat Bukhari, Abu Daud dan Tarmizi)

Laqith (anak yangdipungut di jalan) sama dengan anak yatim. Tetapi untuk anak seperti ini lebih patut dinamakan Ibnu Sabil (anak jalan) yang oleh Islam kita dianjurkan untuk memeliharanya.
Apabila seseorang yang memungutnya itu tidak mempunyai keluarga, kemudian dia bermaksud akan memberikan hartanya itu kepada anak pungutnya tersebut, maka dia dapat menyalurkan melalui cara hibah sewaktu dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka, sebelum meninggal dunia.

TALAK


Talaq Harus Dijatuhkan Bertahap



Islam memberikan kepada seorang muslim tiga talaq untuk tiga kali, dengan suatu syarat tiap kali talaq dijatuhkan pada waktu suci, dan tidak disetubuhinya. Kemudian ditinggalkannya isterinya itu sehingga habis iddah. Kalau tampak ada keinginan merujuk sewaktu masih dalan iddah, maka dia boleh merujuknya. Dan seandainya dia tetap tidak merujuknya sehingga habis iddah, dia masih bisa untuk kembali kepada isterinya itu dengan aqad baru lagi. Dan kalau dia tidak lagi berhasrat untuk kembali, maka si perempuan tersebut diperkenankan kawin dengan orang lain.
Kalau si laki-laki tersebut kembali kepada isterinya sesudah talaq satu, tetapi tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan jatuhnya talaq yang kedua, sedang jalan-jalan untuk menjernihkan cuaca sudah tidak lagi berdaya, maka dia boleh menjatuhkan talaqnya yang kedua, dengan syarat seperti yang kami sebutkan di atas; dan dia diperkenankan merujuk tanpa aqad baru (karena masih dalam iddah) atau dengan aqad baru (karena sesudah habis iddah).
Dan kalau dia kembali lagi dan dicerai lagi untuk ketiga kalinya, maka ini merupakan suatu bukti nyata, bahwa perceraian antara keduanya itu harus dikukuhkan, sebab persesuaian antara keduanya sudah tidak mungkin. Oleh karena itu dia tidak boleh kembali lagi, dan si perempuan pun sudah tidak lagi halal buat si laki-laki tersebut, sampai dia kawin dengan orang lain secara syar'i. Bukan sekedar menghalalkan si perempuan untuk suaminya yang pertama tadi.
Dari sini kita tahu, bahwa menjatuhkan talaq tiga dengan satu kali ucapan, berarti menentang Allah dan menyimpang dari tuntunan Islam yang lurus.

Tepatlah apa yang diriwayatkan, bahwa suatu ketika Rasulullah s.a.w. pernah diberitahu tentang seorang laki-laki yang mencerai isterinya tiga talaq sekaligus. Kemudian Rasulullah berdiri dan marah, sambil bersabda:
"Apakah dia mau mempermainkan kitabullah, sedang saya berada di tengah-tengah kamu? Sehingga berdirilah seorang laki-laki lain, kemudian dia berkata: Ya Rasulullah! apakah tidak saya bunuh saja orang itu!" (Riwayat Nasa'i)



Kembali dengan Baik atau Melepas dengan Baik



Kalau seorang suami mencerai isterinya dan iddahnya sudah hampir habis, maka suami boleh memilih satu di antara dua:


Mungkin dia merujuk dengan cara yang baik; yaitu dengan maksud baik dan untuk memperbaiki, bukan dengan maksud membuat bahaya.
Mungkin dia akan melepasnya dengan cara yang baik pula; yaitu dibiarkanlah dia sampai habis iddahnya dan sempurnalah perpisahan antara keduanya itu tanpa suatu gangguan dan tanpa diabaikannya haknya masing-masing.


Tidak dihalalkan seorang laki-laki merujuk isterinya sebelum habis iddah dengan maksud jahat yaitu guna memperpanjang masa iddah; dan supaya bekas isterinya itu tidak kawin dalam waktu cukup lama. Begitulah apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliah dulu.

Perbuatan jahat ini diharamkan Allah dalam kitabNya dengan suatu uslub (gaya bahasa) yang cukup menggetarkan dada dan mendebarkan jantung.

Maka berfirmanlah Allah:
"Apabila kamu mencerai isterimu, kemudian telah sampai pada batasnya, maka rujuklah mereka itu dengan baik atau kamu lepas dengan baik pula; jangan kamu rujuk dia dengan maksud untuk menyusahkan lantaran kamu akan melanggar. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh dia telah berbuat zalim pada dinnya sendiri. Dan jangan kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai permainan; dan ingatlah akan nikmat Allah yang diberikan kepadamu dan apa yang Allah turunkan kepadamu daripada kitab dan kebijaksanaan yang dengan itu Dia menasehati kamu. Takutlah kepada Allah; dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Baqarah: 231)

Dengan memperhatikan ayat ini, maka kita dapati di dalamnya mengandung tujuh butir yang antara lain berisikan ultimatum, peringatan dan ancaman. Kiranya cukup merupakan peringatan bagi orang yang berjiwa dan mau mendengarkan.


Tidak Boleh Menghalang-Halangi Perempuan yang Dicerai, Untuk Kawin dengan Laki-Laki Lain



Kalau si perempuan yang dicerai itu sudah habis iddahnya, maka tidak diperkenankan suaminya, walinya atau yang lain menghalang-halangi perempuan tersebut kawin dengan laki-laki lain. Mereka tidak boleh mengaral jalan selama pihak laki-laki (khathib) dan pihak perempuan (makhthubah) sudah sama-sama senang menurut cara-cara yang dibenarkan syara' maupun adat.


Apa yang dilakukan oleh sementara bekas suami untuk berusaha berbagai kemungkinan yang sifatnya demi melikwidir bekas isterinya, serta memberikan beberapa ultimatum, baik secara langsung ataupun via keluarganya apabila si perempuan tersebut hendak kawin. Cara semacam itu tidak lain adalah perbuatan orang-orang bodoh (jahiliah).


Dan yang senada dengan itu ialah tidak ada usahanya keluarga perempuan atau walinya untuk merujukkan perempuan tersebut kepada bekas suaminya, sedang kedua belah pihak sudah sama-sama senang dan ingin memperbaiki keretakan antara keduanya, padahal berdamai adalah lebih baik seperti apa yang difirmankan Allah dalam al-Quran:
"Dan apabila kamu mencerai isterimu dan mereka itu sudah sampai pada batas iddahnya, maka janganlah kamu menghalang-halangi mereka kawin dengan (calon) suami mereka apabila mereka sudah sama-sama senang antara mereka dengan cara yang baik. Yang demikian itu dijadikan nasehat untuk orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir di antara kamu. Yang demikian itu lebih bersih dan lebih suci bagi kamu; dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (al-Baqarah: 232)



Hak Isteri yang Tidak Suka



Seorang perempuan apabila tidak suka kepada suaminya tidak sanggup bergaul bersama, maka diperkenankan menebus dirinya dan membeli kemerdekaannya dengan mengembalikan harta yang pernah diberikan oleh suami kepadanya berupa maskawin, atau hadiah dengan sedikit berkurang atau lebih menurut kesepakatan bersama. Akan tetapi yang lebih baik si laki-laki tidak mengambil lebih dari apa yang pernah diberikan.
Firman Allah:
"Jika kamu kawatir mereka berdua tidak dapat menegakkan batas-Batas ketentuan Allah, maka tidak dosa atas keduanya tentang sesuatu yang ia menebus dengannya." (al-Baqarah: 229)

Isteri Tsabit bin Qais pernah datang kepada Nabi s.a.w. mengadukan:
"Ya Rasulullah! Sesungguhnya Tsabit bin Qais tidak saya cela budi dan agamanya, tetapi saya tidak tahan marahnya. Kemudian Nabi bertanya tentang apa yang pernah dia ambil dari suaminya itu. Ia menjawab: Kebun. Lantas Nabi bertanya lagi., Apakah kamu mau mengembalikan kebun itu kepadanya? Ia menjawab: Ya. Maka bersabdalah Nabi kepada Tsabit: Terimalah kebun itu dan cerailah dia." (Riwayat Bukhari dan Nasa'i)


Kendati demikian, seorang isteri tidak dibenarkan cepat-cepat minta cerai tanpa alasan yang dapat dibenarkan dan tanpa suatu pendorong yang dapat diterima yang kiranya bisa membawa kepada perceraian antara keduanya. Sebab Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
"Siapa saja perempuan yang minta cerai kepada suaminya tanpa suatu sebab yang dapat dibenarkan, maka dia tidak akan mencium bau sorga." (Riwayat Abu Daud)



Menyusahkan Isteri Hukumnya Haram



Seorang suami tidak boleh menyusahkan dan berbuat yang tidak baik dalam pergaulannya dengan isteri, dengan maksud supaya isterinya itu mau menebus dirinya; yaitu dengan mengembalikan semua atau sebagian harta yang pernah diberikan kepadanya, selama si isteri itu tidak berbuat jahat.


Dalam hal ini Allah telah berfirman:
"Jangan kamu berlaku kasar terhadap mereka itu lantaran kamu hendak pergi dengan membawa sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali apabila mereka itu berbuat kejahatan yang terang-terangan." (an-Nisa': 19)


Kalau pihak suami yang tidak suka itu ingin supaya bercerai karena ada hasrat dengan orang lain, maka dia dilarang mengambil sesuatu dari isterinya. Sebagaimana firman Allah:
"Dan apabila kamu berkehendak akan mengganti isteri di tempat seorang isteri, padahal kamu telah memberi salah seorang dari mereka harta yang banyak, maka jangan kamu ambil sedikitpun daripadanya, apakah kamu akan mengambilnya dengan cara yang mengagetkan dan dosa yang terang? Bagaimana kamu akan mengambilnya padahal sebagian kamu telah bersatu dengan sebagiannya dan mereka itu telah mengambil daripadamu perjanjian yang keras?" (an-Nisa': 20-21)



Bersumpah Untuk Menjauhi Isteri, Hukumnya Haram



Salah satu keistimewaan Islam dalam melindungi hak perempuan, yaitu melarang seorang suami yang marah kepada isterinya kemudian menjauhi tempat tidur dan tidak mau mendekatinya dalam waktu yang kiranya tidak mungkin dapat ditahan oleh sifat kewanitaan.
Apabila meninggalkan tempat tidur ini diperkuat dengan sumpah tidak akan menyetubuhinya, maka dia diberi masa menunggu selama empat bulan; barangkali dalamasa menunggu itu hatinya menjadi tenang, berkobarnya kemarahan bisa dingin dan suara kalbunya itu bisa ditarik kembali.


Kalau dia bisa kembali kepada tuntunan dan bisa bergaul dengan isterinya sebagaimana semula, sebelum habis waktu empat bulan atau sudah sampai empat bulan, maka Allah tetap akan memberi ampunan terhadap keteledorannya itu dan selalu membuka pintu taubat. Tetapi dengan syarat dia harus membayar kafarah untuk menebus sumpahnya itu.


Dan apabila waktu empat bulan itu telah dilaluinya, sedang dia belum menarik diri dari azamnya, maka dia sudah bebas dari sumpah, tetapi isterinya diceraikan sebagai hukuman yang sesuai, karena dia tidak menghiraukan hak isteri.


Sementara ahli fiqih ada yang berpendapat, bahwa dengan berlalunya waktu otomatis talaqnya jatuh, tanpa menunggu keputusan hakim.


Dan ada pula yang mensyaratkan diajukannya persoalan tersebut kepada hakim setelah waktu yang ditentukan itu habis, kemudian hakim akan memberikan afternatif apakah dia harus mencabut dan isterinya rela, ataukah dia harus mencerainya. Kemudian dia harus memilih apa yang kiranya manis buat dirinya.


Bersumpah tidak akan mendekati isteri, di dalam syariat Islam dikenal dengan nama ila. Yang dalam hal ini Allah telati berfirman:
"Bagi orang-orang yang bersumpah akan menjauhi isterinya, boleh menunggu empat bulan; jika mereka telah memenuhinya maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belaskasih. Dan jika mereka bermaksud hendak mencerai, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (al-Baqarah: 226-227)


Dibatasinya masa tunggu empat bulan, karena kesempatan empat bulan itu sudah cukup bagi seorang suami untuk menarik diri dan kembali ke jalan yang benar. Sebab masa empat bulan itu secara kebiasaan sudah cukup bagi seorang perempuan bersabar diri dari berkumpul dengan suaminya.


Dalam pada itu beberapa ahli tafsir meriwayatkan kisah Umar Ibnul-Khattab ketika mengadakan ronda malam, tiba-tiba terdengar suara perempuan bersyair:
Sungguh malam ini sangat panjang, sekelilingnya penuh kelam
Situasinya menjadikan aku tidak baik, karena tidak ada kekasih yang bisa kuajak bermain
Demi Allah, andaikata tidak takut akibat Sungguh ranjang ini akan goncang.
Umar berusaha untuk menyelidiki kisah si perempuan tersebut. Akhirnya diketahui, bahwa suaminya telah hilang dalam daftar mujahid pada masa yang sudah cukup lama.
Umar kemudian menanyakan kepada puterinya Hafsah berapa lama perempuan bisa bersabar diri dari suaminya? Jawab Hafsah: empat bulan.
Waktu itulah Umar berniat untuk menetapkan suatu peraturan, bahwa seorang suami tidak boleh meninggalkan isterinya lebih dari empat bulan.

CERAI


Penolakan Farid Dalam Persoalan Ini



"Kenyataan inilah yang berlaku dalam undang-undang perkawinan sejalan dengan undang-undang sipil yang berlaku, yang samasekali bertentangan dengan ajaran agama dan hampir tidak dijumpai selain bangsa Barat yang beragama Kristen. Seluruh aliran dan kepercayaan, termasuk di dalamnya kaum Brahma, Buddhis, Polytheis dan Majusi, semuanya melaksanakan undang-undang perkawinannya menurut tuntunan agamanya masing-masing. Sekalipun kadang-kadang kita dapati di antara mereka ada yang membuat undang-undang sipil dalam beberapa hal yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Tetapi tidak kita jumpai di kalangan mereka yang membuat undang-undang sipil dalam bidang perkawinan yakni dalam urusan perkawinan, talaq dan sebagainya bertentangan dengan ajaran agamanya. Sebab aliran dan kepercayaan-kepercayaan ini memungkinkan untuk menjalankan praktek hidup dan menyalurkan naluri manusia dalam persoalan ini (baca perkawinan). Hanya orang-orang Kristen saja yang mengingkari agamanya dari segi praktek perkawinan pada umumnya dan dalam persoalan talaq pada khususnya. Karena mereka sendiri sudah mengetahui, bahwa ajaran agamanya dalam persoalan ini bertentangan dengan realita dan bersikap masa bodoh terhadap naluri manusia dan tidak mungkin dapat diterapkan dalam kehidupan."





Agama Kristen Hanya Obat Sementara, Bukan Syariat yang Universal






Kalau benar apa yang terdapat dalam Injil tentang persoalan talaq, bukan mengalami perubahan sebagaimana yang terjadi pada abad-abad pertama, maka tidak diragukan lagi, bahwa orang yang mau berfikir tentang Injil --sampai pun yang ada sekarang ini-- akan mengetahui dengan jelas, bahwa al-Masih tidak bermaksud menetapkan agama ini sebagai hukum yang universal dan abadi. Tetapi dia hanya bermaksud akan melawan kesewenang-wenangan orang Yahudi terhadap hal-hal yang oleh Allah telah diberikan rukhshah, sebagaimana apa yang mereka perbuat dalam masalah talaq ini.


Injil Matius fasal 19 menerangkan: "Tatkala Jesus telah menyudahkan segala ucapan itu, berangkatlah Ia dari tanah Galilea, lalu sampai ke tanah Judea yang di seberang sungai Jordan. Maka amatlah banyak orang mengikuti dia, lalu disembuhkannya mereka itu di sana. Maka datanglah orang Parisi kepadanya hendak mencobai dia, serta bertanya kepadanya: Halalkah orang mencerai bininya karena tiap-tiap sebab? Maka jawab Jesus, katanya: Tidakkah kamu membaca, bahwa Ia yang menjadikan manusia pada mulanya menjadikan laki-laki dan perempuan, lalu berfirman: "Karena sebab itu orang hendaklah meninggalkan ibu-bapanya, dan berdamping dengan bininya; lalu keduanya itu menjadi saudara-daging?" Sehingga mereka itu bukannya lagi dua orang, melainkan sedarah-daging adanya. Sebab itu yang telah dijodohkan oleh Allah, janganlah diceraikan oleh manusia. Maka kata mereka itu kepadanya: Kalau begitu, apakah sebabnya Musa menyuruh memberi surat talaq serta menceraikan dia? Maka kata Jesus kepada mereka itu: Oleh sebab keras hatimu, Musa meluluskan kamu menceraikan binimu; tetapi pada mulanya bukan demikian adanya. Aku berkata kepadamu: Barangsiapa yang menceraikan bininya kecuali sebab hal zina, lalu berbinikan orang lain, ialah berzina. Dan barangsiapa berbinikan perempuan yang sudah diceraikan demikian, iapun berzina juga. Maka kata murid-murid itu kepadanya: Jikalau demikian ini perihal laki-laki dengan bini, tiada berfaedah kawin." (Matius 19: 1 - 10)


Dari percakapan ini jelas, bahwa Jesus (Isa) hanya bermaksud membatasi kesewenang-wenangan orang Yahudi dalam mempergunakan izin talaq yang telah diberikan Musa kepadanya, kemudian ia menghukumi mereka ini dengan larangan bercerai kecuali sebab si perempuan itu berbuat zina. Dengan demikian, apa yang diperbuatnya itu adalah obat sementara untuk waktu tertentu, sehingga datanglah agama yang universal dan abadi; yaitu dengan diutusnya Nabi Muhammad s.a.w.


Tidak rasional kalau al-Masih menghendaki hukumnya ini bersifat abadi dan berlaku untuk segenap ummat manusia. Sebab murid-muridnya sendiri telah menyatakan keberatannya terhadap hukum yang sangat berat ini. Mereka berkata: "Jikalau demikian ini perihal laki dengan bini, tiada berfaedah kawin." Sebab semata-mata kawin dengan seorang perempuan, berarti dia menjadikan perempuan itu sebagai belenggu di lehernya yang tidak mungkin dapat dilepaskan dengan apapun, kendatipun hatinya penuh kebencian, kesempitan dan kemurkaan; dan betapapun watak dan pembawaan kedua belah pihak itu berbeda.


Dahulukala seorang failasuf berkata: "Sebesar-besar bencana, adalah beristerikan seorang perempuan yang tidak kamu setujui tetapi tidak juga kamu cerai."
Dan berkatalah seorang penyair Arab:
Barangsiapa menghalang-halangi kebebasan dunia,
Maka pasti dia akan menemui musuh dari kawan seiringnya sendiri.





Islam Membatasi Persoalan Talaq






Syariat Islam telah meletakkan beberapa ikatan yang membendung jalan yang akan membawa kepada perceraian, sehingga terbatas dalam lingkaran yang sangat sempit.


Oleh karena itu talaq yang dijatuhkan tanpa suatu alasan yang mengharuskan dan tanpa meninjau jalan-jalan lain seperti yang kami sebutkan di atas, adalah talaq yang diharamkan dalam Islam. Sebab talaq seperti itu --sebagaimana dikatakan oleh sebagian ahli fiqih-- cukup membahayakan, baik pada dirinya sendiri maupun pada isterinya. Sedang mengabaikan maslahah yang sangat diperlukan untuk kedua belah pihak tanpa ada suatu kepentingan yang mengharuskan, hukumnya haram, seperti merusak harta benda. Sebab Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
"Tidak boleh membuat bahaya dan membalas bahaya." (Riwayat Ibnu Majah dan Thabarani dan lain-lain)


Adapun apa yang diperbuat oleh orang-orang yang suka berselera dan suka mencerai isteri, adalah satu hal yang samasekali tidak dibenarkan Allah dan Rasul-Nya. Seperti sabda Rasulullah s.a.w.:
"Saya tidak suka kepada laki-laki yang suka kawin cerai dan perempuan yang suka kawin cerai." (Riwayat Thabarani dan Daraquthni)


Dan sabdanya pula:
"Sesungguhnya Allah tidak suka kepada laki-laki yang suka kawin cerai dan perempuan-perempuan yang suka kawin cerai." (Riwayat Thabarani)
Abdullah bin Abbas juga berkata: "Talaq itu hanya dibenarkan karena suatu kepentingan."






Mencerai Perempuan Waktu Datang Bulan







Apabila ada keperluan dan kepentingan yang membolehkan talaq, tidak berarti seorang muslim diperkenankan untuk segera menjatuhkan talaqnya kapan pun ia suka, tetapi harus dipilihnya waktu yang tepat. Sedang waktu yang tepat itu --menurut yang digariskan oleh syariat-- yaitu sewaktu si perempuan dalam keadaan bersih, yakni tidak datang bulan, baru saja melahirkan anak (nifas) dan tidak sehabis disetubuhinya khusus waktu bersih itu, kecuali apabila si perempuan tersebut jelas dalam keadaan mengandung,


Karena dalam keadaan haidh, termasuk juga nifas, mengharuskan seorang suami untuk menjauhi isterinya. Barangkali karena terhalangnya atau ketegangan alat vitalnya itu yang mendorong untuk mentalaq. Oleh karena itu si suami diperintahkan supaya menangguhkan sampai selesai haidhnya itu kemudian bersuci, kemudian dia boleh menjatuhkan talaqnya sebelum si isteri itu disetubuhinya.


Sebagaimana diharamkannya mencerai isteri di waktu haidh, begitu juga diharamkan mencerai di waktu suci sesudah bersetubuh. Sebab siapa tahu barangkali si perempuan itu memperoleh benih dari suaminya pada kali ini, dan barangkali juga kalau si suami setelah mengetahui bahwa isterinya hamil kemudian dia akan merubah niatnya, dan dia dapat hidup senang bersama isteri karena ada janin yang dikandungnya.


Tetapi bila si perempuan itu dalam keadaan suci yang tidak disetubuhi atau si perempuan itu sudah jelas hamil, maka jelas di sini bahwa yang mendorong untuk bercerai adalah karena ada alasan yang bisa dibenarkan. Oleh karena itu di saat yang demikian dia tidak berdosa mencerainya.


Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dikisahkan, bahwa Abdullah bin Umar Ibnul-Khattab pernah mencerai isterinya waktu haidh. Kejadian ini sewaktu Rasulullah s.a.w. masih hidup. Maka bertanyalah Umar kepada Rasulullah s.a.w., maka jawab Nabi kepada Umar:
"Suruhlah dia (Abdullah bin Umar) supaya kembali, kemudian jika dia mau, cerailah sedang isterinya itu dalam keadaan suci sebelum disetubuhinya. Itulah yang disebut mencerai pada iddah, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam firmanNya: Hai Nabi! Apabila kamu hendak mencerai isterimu, maka cerailah dia pada iddahnya. Yakni menghadapi iddah, yaitu di dalam keadaan suci."


Di satu riwayat disebutkan:
"Perintahlah dia (Abdullah bin Umar) supaya kembali, kemudian cerailah dia dalam keadaan suci atau mengandung." (Riwayat Bukhari)


Akan tetapi apakah talaq semacam itu dipandang sah dan harus dilaksanakan atau tidak?
Pendapat yang masyhur, bahwa talaq semacam itu tetap sah, tetapi si pelakunya berdosa.
Sementara ahli fiqih berpendapat tidak sah, sebab talaq semacam itu samasekali tidak menurut aturan syara' dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu bagaimana mungkin dapat dikatakan berlaku dan sah?


Diriwayatkan:
"Sesungguhnya Ibnu Umar pernah ditanya: bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang mencerai isterinya waktu haidh? Maka ia menceriterakan kepada si penanya tentang kisahnya ketika ia mencerai isterinya waktu haidh, dan Rasulullah s.a. w. niengembalikan isterinya itu kepadanya sedang Rasulullah tidak menganggapnya sedikitpun." (Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sahih)







Bersumpah Untuk Mencerai Hukumnya Haram










Seorang muslim tidak dibenarkan menjadikan talaq sebagai sumpah untuk mengerjakan ini atau meninggalkan itu, atau untuk mengancam isterinya. Misalnya ia berkata kepada isterinya: "Apabila dia berbuat begitu, maka ia tertalaq."
Sumpah dalam Islam mempunyai redaksi khusus, tidak boleh lain, yaitu bersumpah dengan nama Allah: Demi Allah. Sebab Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Barangsiapa bersumpah dengan selain asma' Allah, maka sungguh ia berbuat syirik." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Hakim)
Dan sabdanya pula:
"Barangsiapa bersumpah, maka bersumpahlah dengan nama Allah atau diam." (Riwayat Muslim)







Perempuan yang Dicerai Tetap Tinggal di Rumah Suami Selama dalam Iddah








Dalam syariat Islam, perempuan yang dicerai wajib tetap tinggal di rumah suaminya selama dalam iddah. Dia diharamkan keluar rumah, dan suami diharamkan mengeluarkan bekas isterinya itu dari rumah tanpa suatu alasan yang dapat dibenarkan.


Hal ini disebabkan suami, selama dalam iddah, masih diperkenankan merujuk dan mengembalikan isteri kepada perlindungan perkawinan untuk sekali lagi --apabila talaq ini baru satu atau dua kali. Sedang tinggalnya seorang isteri di dalam rumah suami sangat memungkinkan untuk membangkitkan perasaan suami dan mengingat-ingat serta berfikir sebelum habis iddah itu, dan sebelum berakhirnya bulan-bulan iddah dimana perempuan diperintahkan supaya menunggu guna mendapatkan suatu keyakinan bersihnya rahim serta melindungi hak suami dan kehormatan isteri. Sebab hati selalu berubah, fikiran selalu baru, seorang yang sedang marah kadang-kadang menjadi rela, orang yang naik pitam kadang-kadang menjadi dingin dan orang yang benci kadang-kadang menjadi cinta.


Sehubungan dengan persoalan perempuan yang dicerai ini, Allah s.w.t. telah berfirman dalam al-Quran sebagai berikut:
"Dan takutlah kamu kepada Allah, Tuhanmu. Jangan kamu usir mereka itu dari rumah-rumah mereka dan jangan sampai mereka itu keluar rumah, kecuali apabila mereka berbuat kejahatan yang terang-terangan; dan yang demikian itu adalah batas-batas ketentuan Allah, dan barangsiapa melanggar batas-batas ketentuan Allah, maka sungguh dia telah berbuat zalim pada dirinya sendiri; kamu tidak tahu barangkali Allah akan mengadakan hal baru sesudah itu."(at-Thalaq: 1)


Kalau perceraian antara suami-isteri itu satu hal yang tidak mungkin dielakkan lagi, maka yang dituntut dari kedua belah pihak supaya perceraiannya itu dilakukan dengan baik, tidak menyakitkan, tidak bikin-bikin dan tidak mengabaikan hak.


Firman Allah:
"Tahanlah mereka dengan baik atau cerailah mereka dengan baik pula." (at-Thalaq: 2)
"Maka tahanlah dengan baik atau lepaslah dengan baik pula." (at-Thalaq: 299)
"Untuk perempuan-perempuan yang dicerai harus diberi hiburan (mata') dengan baik, sebagai kewajiban atas orang-orang yang taqwa." (al-Baqarah: 241)

ADA APA DENGAN CERAI


Ketika Nusyuz dan Bersengketa

Karena seorang laki-laki adalah kepala rumahtangga sebagai konsekuensi yang diperolehnya karena dialah pembinanya, mempersediakannya, meletakkan rumahtangga ini dalam kehidupan, membayar mahar dan memberi nafkah, maka seorang isteri tidak diperkenankan menentang suami dan lari dari kekuasaan suami. Hal mana akan merusak persekutuan dan akan menggoncangkan bahtera rumahtangga, bahkan mungkin akan menenggelamkannya selama rumahtangga itu tidak ada pengemudinya.

Dan kalau seorang suami menjumpai isterinya ada tanda-tanda nusyuz (durhaka) dan menentangnya; maka dia harus berusaha mengadakan islah dengan sekuat tenaga, diawali dengan kata-kata yang baik, nasehat yang mengesan dan bimbingan yang bijaksana.
Kalau cara ini tidak lagi berguna, maka boleh dia tinggalkan dalam tempat tidur sebagai suatu usaha agar instink kewanitaannya itu dapat diajak berbicara. Kiranya dengan demikian dia akan radar dan kejernihan akan kembali.

Kalau ini dan itu tidak lagi berguna, maka dicoba untuk disadarkan dengan tangan, tetapi harus dijauhi pukulan yang berbahaya dan muka. Ini suatu obat mujarrab untuk sementara perempuan dalam beberapa hal pada saat-saat tertentu.

Maksud memukul di sini tidak berarti harus dengan cambuk atau kayu, tetapi apa yang dimaksud memukul di sini ialah salah satu macam dari apa yang dikatakan Nabi kepada seorang khadamnya yang tidak menyenangkan pekerjaannya. Nabi mengatakan sebagai berikut:
"Andaikata tidak ada qishash (pembalasan) kelak di hari kiamat, niscaya akan kusakiti kamu dengan kayu ini." (Riwayat Ibnu Saad dalam Thabaqat)

Tetapi Nabi sendiri tidak menyukai laki-laki yang suka memukul isterinya. Beliau bersabda sebagai berikut:
"Mengapa salah seorang di antara kamu suka memukul isterinya seperti memukul seorang hamba, padahal barangkali dia akan menyetubuhinya di hari lain?!" (Riwayat Anmad, dan dalam Bukhari ada yang mirip dengan itu)

Terhadap orang yang suka memukul isterinya ini, Rasulullah s.a.w. mengatakan:
"Kamu tidak jumpai mereka itu sebagai orang yang baik di antara kamu." (Hadis ini dalam Fathul Bari dihubungkan kepada Ahmad, Abu Daud dan Nasa'i dan disahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ayyas bin Abdillah bin Abi Dzubab)

Ibnu Hajar berkata: "Dalam sabda Nabi yang mengatakan: orang-orang baik di antara kamu tidak akan memukul ini menunjukkan, bahwa secara garis besar memukul itu dibenarkan, dengan motif demi mendidik jika suami melihat ada sesuatu yang tidak disukai yang seharusnya isteri harus taat. Tetapi jika dirasa cukup dengan ancaman adalah lebih baik.

Apapun yang mungkin dapat sampai kepada tujuan yang cukup dengan angan-angan, tidak boleh beralih kepada suatu perbuatan. Sebab terjadinya suatu tindakan, bisa menyebabkan kebencian yang justru bertentangan dengan prinsip bergaul yang baik yang selaiu dituntut dalam kehidupan berumahtangga. Kecuali dalam hal yang bersangkutan dengan kemaksiatan kepada Allah.

Imam Nasa'i meriwayatkan dalam bab ini dari Aisyah r.a' sebagai berikut:
"Rasulullah s.aw. tidak pernah memukul isteri maupun khadamnya samasekali; dan beliau samasekali tidak pernah memukul dengan tangannya sendiri, melainkan dalam peperangan (sabilillah) atau karena larangan-larangan Allah dilanggar, maka beliau menghukum karena Allah."

Kalau semua ini tidak lagi berguna dan sangat dikawatirkan akan meluasnya persengketaan antara suami-isteri, maka waktu itu masyarakat Islam dan para cerdik-pandai harus ikut campur untuk mengislahkan, yaitu dengan mengutus seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan yang baik dan mempunyai kemampuan. Diharapkan dengan niat yang baik demi meluruskan ketidak teraturan dan memperbaiki yang rusak itu, semoga Allah memberikan taufik kepada kedua suami-isteri.

Perihal ini semua, Allah s.w.t. telah berfirman dalam al-Quran sebagai berikut:
"Dan perempuan-perempuan yang kamu kawatirkan kedurhakaannya, maka nasehatlah mereka itu, dan tinggalkanlah di tempat tidur, dan pukullah. Apabila mereka sudah taat kepadamu, maka jangan kamu cari-cari jalan untuk menceraikan mereka, karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar. Dan jika kamu merasa kawatir akan terjadinya percekcokan antara mereka berdua, maka utuslah hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim lagi dari keluarga perempuan. Apabila mereka berdua menghendaki islah, maka Allah akan memberi taufik antara keduanya; sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Mengetahui." (an-Nisa': 34-35)

Cerai

Di sini, yakni sesudah tidak mampunyai lagi seluruh usaha dan cara, maka di saat itu seorang suami diperkenankan memasuki jalan terakhir yang dibenarkan oleh Islam, sebagai satu usaha memenuhi panggilan kenyataan dan menyambut panggilan darurat serta jalan untuk memecahkan problema yang tidak dapat diatasi kecuali dengan berpisah. Cara ini disebut thalaq.
Islam, sekalipun memperkenankan memasuki cara ini, tetapi membencinya, tidak menyunnatkan dan tidak menganggap satu hal yang baik. Bahkan Nabi sendiri mengatakan:
"Perbuatan halal yang teramat dibenci Allah, ialah talaq." (Riwayat Abu Daud)
"Tidak ada sesuatu yang Allah halalkan, tetapi Ia sangat membencinya, melainkan talaq." (Riwayat Abu Daud)
Perkataan halal tapi dibenci oleh Allah memberikan suatu pengertian, bahwa talaq itu suatu rukhshah yang diadakan semata-mata karena darurat, yaitu ketika memburuknya pergaulan dan menghajatkan perpisahan antara suami-isteri. Tetapi dengan suatu syarat: kedua belah pihak harus mematuhi ketentuan-ketentuan Allah dan hukum-hukum perkawinan.
Dalam satu pepatah dikatakan: "kalau tidak ada kecocokan, ya perpisahan." Tetapi firman Allah mengatakan:
"Dan jika (terpaksa) kedua suami-isteri itu berpisah, maka Allah akan memberi kekayaan kepada masing-masing pihak dari anugerah-Nya." (an-Nisa': 130)

Talaq Sebelum Islam

Bukan Islam saja satu-satunya agama yang membenarkan adanya talaq, bahkan sebelum Islam, talaq sudah merata di dunia, apabila kita mau kecualikan satu ummat atau dua ummat, yaitu: apabila seorang suami sedang marah kepada isterinya, maka isterinya itu diusir dari rumah dengan tangan hampa, atau tidak ada kekuasaan sedikitpun. Si perempuan tidak ada wewenang untuk membela diri, mendapat ganti atau hak-hak lain.

Dan ketika bangsa Yunani mulai bangkit dan kebudayaan mulai menanjak, maka persoalan talaq telah merata di kalangan masyarakat, tanpa suatu ikatan dan persyaratan.

Talaq bagi orang-orang Romawi dinilai dari eksistensi perkawinan itu sendiri. Sehingga para hakim pun dapat membatalkan perkawinan, walaupun kedua belah pihak telah berjanji tidak akan bercerai. Padahal perkawinan secara keagamaan menurut generasi pertama tidak membenarkan adanya talaq. Tetapi pada waktu itu juga seorang suami diberinya kekuasaan penuh, tanpa batas (absolut) terhadap isterinya. Sehingga dalam beberapa hal dia dibenarkan membunuh isterinya. Kemudian agama mereka ini mencabut hak tersebut dan membenarkan adanya talaq yang juga dibenarkan oleh undang-undang sipil yang berlaku.

Talaq dalam Pandangan Agama Yahudi

Agama Yahudi menganggap baik persoalan talaq dengan menitik-beratkan peninjauannya kepada keadaan isteri. Tetapi perkenan itu diperluas. Seorang suami oleh syara' diharuskan mencerai isterinya kalau ternyata si isteri berbuat fasik, sekalipun suami telah memaafkannya.
Undang-undang pun memaksa kepada suami untuk mencerai isterinya kalau perkawinan itu berjalan 20 tahun, tetapi ternyata tidak menghasilkan anak.

Talaq dalam Pandangan Agama Kristen

Kristen adalah agama yang menyimpang dari agama-agama yang kami tuturkan di atas, bahkan bertentangan dengan agama Yahudi itu sendiri. Injil melalui lidah al-Masih mengharamkan talaq dan mengharamkan mengawini laki-laki atau perempuan yang ditalaq.

Injil karangan Matius fasal 5 ayat 31 dan 32 mengatakan: "Barangsiapa mencerai bininya, hendaklah ia memberi surat talaq kepadanya. Tetapi aku ini berkata kepadamu: barangsiapa mencerai bininya lain daripada sebab berzina, ialah menjadi pohon yang sebab perempuan itu berzina; dan barangsiapa berbinikan perempuan yang diceraikan demikian itu, ia pun berzina."
Dan dalam Injil karangan Markus, fasal 10 ayat 11 dan 12 dikatakan: "Barangsiapa menceraikan bininya, lalu berbinikan orang lain, ialah berbuat zina terhadap bininya yang dahulu itu. Dan jikalau seorang perempuan menceraikan lakinya, lalu berlakikan orang lain, ia pun berbuat zina."
Injil memberikan alasan haramnya talaq yang demikian keras itu karena: "sesuatu yang telah dijodohkan oleh Allah jangan diceraikan oleh manusia." (Matius 19: 6).

Alasan ini maksudnya baik. Tetapi menjadikan alasan tersebut untuk melarang perceraian adalah suatu hal yang sangat ganjil. Sebab maksud Allah menjodohkan antara suami-isteri itu pengertiannya, bahwa Ia memberi izin dan mengatur jalannya perkawinan. Oleh karena itu benar kalau menisbatkan penjodohan kepada Allah, sekalipun pada hakikatnya manusialah yang langsung mengadakan aqad.

Jika Allah membenarkan dan mengatur perceraian karena sebab dan alasan yang mengharuskan, maka perceraian waktu itu artinya dari Allah juga, sekalipun pada hakikatnya manusia itu sendiri yang secara langsung melakukan perceraian.

Dengan demikian, jelas bukan manusia itu sendiri yang menceraikan apa yang telah dijodohkan Allah. Bahkan baik yang menjodohkan maupun yang menceraikan adalah Allah. Bukankah Allah jua yang menceraikan antara suami-isteri lantaran sebab berzina?! Mengapa Allah tidak boleh menceraikan suami-isteri lantaran sebab lain yang mengharuskan cerai?!

Pertentangan Sekte Kristen dalam Persoalan Talaq

Sekalipun Injil mengecualikan larangan talaq selain karena zina, akan tetapi pengikut sekte Katholik menafsirkan pengecualian ini sebagai berikut: "Di sini tidak dapat diartikan, bahwa prinsip ini ada beberapa keganjilan, atau ada sebab-sebab yang membenarkan perceraian. Dalam Kristen sedikitpun tidak ada apa yang disebut talaq. Perkataan selain karena sebab zina, di sini maksudnya adalah perkawinan itu sendiri yang tidak sah, sebab diadakan dan disahkannya perkawinan itu bukan karena yang tampak saja. Jadi zina bukan suatu pengecualian. Maka dalam situasi seperti ini seorang laki-laki dibenarkan, bahkan diharuskan meninggalkan isterinya."
Pengikut sekte Protestan membolehkan perceraian dalam beberapa hal yang antara lain: karena isteri berbuat zina, isteri berkhianat kepada suami dan beberapa hal lagi yang kesemuanya itu menambah-nambah nas Injil. Akan tetapi kendati mereka membolehkan talaq karena ini dan itu, namun mereka tetap tidak membenarkan suami-isteri yang sudah bercerai itu untuk menikmati hidup dengan bersuamikan/beristerikan orang lain.

Adapun pengikut sekte Ortodoks, perguruan-perguruan mereka yang ekstrim di Mesir membolehkan talaq apabila seorang isteri melakukan zina, persis seperti apa yang termaktub dalam Injil. Di samping itu mereka juga membenarkan adanya talaq karena sebab-sebab lain, seperti: karena mandul selama tiga tahun, karena sakit, karena pertentangan yang berkepanjangan yang tidak dapat diharapkan kedamaiannya.

Sebab-sebab ini semua tidak terdapat dalam Injil. Oleh karena itu pengikut-pengikut setia dari sekte ini tidak mengakui alasan tersebut yang memberi perkenan orang belakangan mencerai isterinya karena sebab-sebab ini. Begitu juga mereka tidak mengakui kebenaran bolehnya mengawini laki-laki atau perempuan yang sudah bercerai dengan alasan apapun.

Dengan dasar inilah, salah satu mahkamah Kristen di Mesir pernah menolak pengaduan seorang perempuan Kristen yang minta diceraikan dengan suaminya berhubung suaminya tidak mampu. Dalam keputusannya itu mahkamah berpendapat: "Sungguh sangat mengherankan sementara aktivis agama dari kepala-kepala gereja dan anggota majlis agama tinggi telah berani mengikuti perkembangan zaman, sehingga mereka mau memenuhi selera orang-orang yang lemah iman dan membolehkan cerai, justru sebab yang tidak bersandar pada Injil. Padahal syariat Kristen dengan tegas tidak membolehkan cerai, kecuali karena sebab zina, dengan konsekwensi bahwa mengawini salah seorang yang telah bercerai itu berkawin kotor, bahkan dia itu sendiri dihukumi berzina."

Effek Pengekangan Agama Kristen dalam Persoalan Talaq

Dari effek pengekangan yang sangat ganjil dari agama Kristen dalam persoalan talaq dan bertentangan dengan naluri manusia serta faktor vital yang mengharuskan seseorang bercerai dengan isterinya karena beberapa hal, maka --sebagai akfibat dari itu semua-- para pengikut agama ini berani melanggar agamanya dan melepaskan diri dari tuntunan Injil, bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Akhirnya mereka tidak dapat berbuat lain selain harus memisahkan apa yang oleh Allah telah dijodohkannya itu.

Orang-orang Barat yang beragama Kristen sendiri kemudian membuat undang-undang sipil yang membolehkan keluar dari penjara abadi ini. Dan di balik itu tidak sedikit dari kalangan mereka, seperti bangsa Amerika, yang berlebih-lebihan dan melepaskan kendali dalam persoalan dibolehkannya bercerai, yang seolah-olah mereka itu satu kesatuan dengan Injil. Oleh karena itu, mereka menjatuhkan Injil tersebut justru kurangnya pengertian; dan para cerdik-pandainya mengadukan situasi yang krisis ini yang menimpa ikatan perkawinan dan yang mengancam kehidupan berumahtangga serta tata-tertib keluarga, sehingga sementara hakim urusan talaq menegaskan: bahwa kehidupan rumahtangga (perkawinan) akan musnah di negeri mereka dan akan diganti dengan suatu kebebasan perhubungan antara laki-laki dan perempuan pada waktu yang tidak terlalu lama. Sekarang ini perkawinan dianggapnya sebagai barang perdagangan yang dihancurkan sendiri oleh dua pasangan suami-isteri, karena kelemahan sendi-sendinya yang sama sekali berbeda dengan agama-agama lain, lebih-lebih tidak adanya keyakinan dan kecintaan yang mengikat antara dua pasangan suami-isteri itu. Tetapi syahwat dan berganti-ganti pasangan adalah jalan-jalan untuk memuaskan nafsu dan mencapai hidup senang.